Cara Menyampaikan Kritik dengan Kaidah ‘Oreo’

Halo, salam semuanya!

Sebagai prolog, saya ingin menyampaikan permintaan maaf. Berhubung sikon saya sedang fokus dengan penelitian thesis, saya jadi lebih jarang menyambangi dan ‘menafkahi’ blog ini dengan tulisan baru. Padahal, kalau boleh jujur (ya boleh lah, jujur  memang (boleh) dilarang?!), sebenarnya rancangan tulisan ada puluhan di kotak draft, menunggu untuk dieksekusi.

Namun apa mau dikata, penelitian saya tentang reinforcement learning mengharuskan saya untuk berkutat dengan loop: paper-literature-synthesis-code-repeatAlhamdulillah, saat ini insya Allah topik spesifik sudah disepakati. Fokus saya saat ini adalah memastikan aspek substansi matematik dalam thesis cukup kuat, dengan mengeksplorasi riset teoretikal pada metode awal yang saya ajukan. As always, mohon doanya ya!

Baiklah, mari kita eksekusi satu draft tulisan yang muncul sejak sekitar setengah tahun yang lalu ini. Selamat membaca!

***

menyampaikan kritik

orang mendapatkan kritik

Kritik. Siapa yang mau dikritik? Saya rasa tak semua orang bisa dengan senang hati menerima kritik yang disampaikan padanya, bahkan meskipun hal yang dikritik adalah sesuatu yang sebenarnya benar adanya. Padahal, kritik mirip dengan jamu (pada umumnya), yang terasa pahit, namun bermanfaat bagi diri kita.

Dari sisi pengkritik, pun sama. Banyak orang yang enggan mengkritik, walalaupun sebenarnya ia memiliki poin kritik yang baik, alias yang biasa kita sebut dengan ‘kritik yang membangun’. Alasannya adalah, ia khawatir apabila ternyata orang yang dikiritik tidak menerimanya dan berimbas pada kualitas hubungan personal antara mereka berdua.

Dari sini, saya rasa cukup jelas bahwa penting bagi kita untuk mengetahui cara menyampaikan kritik dengan baik. Dalam arti memperbesar peluang kritik yang kita sampaikan diterima dengan baik (bahkan dengan senang hati) oleh orang yang kita kritik. Bagaimana caranya? Ternyata kita dapat mengambil inspirasi dari salah satu makanan ringan legendaris: Oreo! Diputer, dijilat, dicelupin!

biskuit oreo

jadi ngiler…

Semua tentu familiar dengan Oreo, kan ya? Snack dengan paduan dua biskuit coklat (yang rasanya Oreo banget) dan krim susu (dulu, sekarang ada beragam pilihan rasa) di tengahnya. Nah, dalam konteks memberikan kritik, kita dapat membayangkan biskuit coklat Oreo sebagai kalimat yang membesarkan hati untuk orang yang kita kritik. Sedangkan, krim yang di tengah sebagai poin/substansi kritik yang ingin kita sampaikan. 

Jadi, sesuai dengan strutur Oreo, satu kesatuan kritik tersusun dari tiga bagian berikut secara berurutan:

  1. Pengantar kritik: kalimat membesarkan hati.
  2. Poin utama kritik: hal yang ingin kita kritik, lengkap dengan masukan untuk memperbaiki hal tersebut.
  3. Penutup kritik:  kalimat membesarkan hati.

Agar konsep di atas lebih mudah dipahami, mari kita ambil sebuah contoh. Misalkan seorang teman meminta kita untuk mendampingi prosesnya berlatih presenstasi. Kita perhatikan, si teman ini terlalu sering menghadap ke arah belakang untuk membaca teks yang ada di slide presentasinya. Maka, saat presentasi berakhir, kita dapat memberikan kritik sebagai berikut:

  1. Pengantar: kita dapat memuji (beberapa) hal yang sudah baik dari latihan presentasinya barusan, misalnya “Wah, desain slidenya bagus banget, komposisi ilustrasinya beragam dan tidak membosankan. Cakep deh!
  2. Poin kritik: sampaikan hal yang masih kurang, dan jangan lupa diikuti dengan masukan/solusi untuk hal tersebut. Misalnya “Kalau boleh  komentar sedikit nih bro, tadi pas presentasi menurutku kamu terlalu sering menengok ke belakang buat baca teks di slide, jadi kontak mata dengan audience kurang. Saran dariku sih, kalau memang sudah tak sempat menguasai bahan di luar kepala, bikin catatan di kertas saja bro, yang isinya pointer penting sesuai dengan slide, nanti dibawa pas presentasi buat contekan. Lebih baik sepertinya.”
  3. Penutup: besarkan hatinya lagi, misalnya mengatakan bahwa kekurangannya tadi adalah satu-satunya hal yang perlu diperbaiki “Itu saja sih yang kurang menurutku, overall presentasimu tadi sudah cukup oke. Kalau kontak mata dengan audience sudah diperbaiki, pasti lebih joss, bro!

Bagaimana? Sekarang sudah terbayang, kan?

Dengan struktur kritik seperti ini, saya percaya peluang kritik kita diterima semakin besar. Sebab, kita tak lupa menekankan bahwa masih ada (banyak) aspek dari target kritik yang layak dipuji/diapresiasi. Sebab saya pikir, itu lah akar masalah dari enggannya orang untuk menerima kritik:

Kebanyakan kritik terlalu lugas dengan hanya memuat satu dan hanya satu hal, i.e. aspek yang salah dari orang tersebut, tanpa mengusulkan solusi, alih-alih mengapresiasi hal lain yang sudah benar, yang padahal juga menempel pada orang yang sama.

Akhirnya, semoga dengan kaidah Oreo ini, kita jadi tidak (terlalu) takut untuk mengkritik. Sebab, kritik sejatinya dapat kita pandang sebagai sebuah hadiah: jika dengan kritik yang kita sampaikan seseorang bisa menjadi lebih baik, tentu kita tak ubahnya telah memberi sebuah hadiah yang bermanfaat bagi orang tersebut.

Salam & tot ziens!

About pararawendy

Once A Dreamer, Always Be The One Lihat semua pos milik pararawendy

Tinggalkan komentar