Category Archives: Pelajaran Hidup

Catatan Awal Tahun

“Sesungguhnya sesuatu yang paling jauh dari diri kita adalah masa lalu” – Imam Al-Ghazali

Selamat tahun baru semuanya!

Apapun kesan relatif kita atas tahun 2018 yang baru saja kita tinggalkan (ada yang bilang “tak terasa ya 2018 terlewati begitu saja”, pun pasti ada yang bilang “akhirnya tahun kemarin bisa terlewati juga”), kenyataan mengatakan bahwa saat ini kita telah sama-sama berada di tahun baru 2019.

Saya sengaja mencukupkan ucapan selamat tahun baru di atas, tanpa menambahi embel-embel pertanyaan ikutan standar seperti “apa nih resolusi kalian di tahun ini?”. Sebab, bagi saya, somehow, pertanyaan tersebut sudah terlanjur hambar bagi saya. Tidak lagi meriah sebagai mana saya memaknainya dulu jaman masih muda kinyis-kinyis.

Benar lah beberapa quote yang dibagikan oleh teman-teman seangkatan saya di awal tahun kemarin, yang isinya kurang lebih mengatakan bahwa makin kesini segala hal tentang tahun baru tidak lah sesakral dulu, lengkap dengan menyusun daftar rinci bin teknis tentang resolusi fantantis dan bertekad angat-angat tai ayam akan menjadi sosok diri yang sama sekali baru, yang ditandai dengan momen sakral bernama pergantian tahun.

Kenyataannya adalah, pergantian tahun hanyalah bagian dari dinamika kontunuitas waktu. Karenanya, berharap terlalu banyak pada resolusi bermodalkan kesakralan momen tahun baru sudah berulang kali berakhir dengan Lanjutkan membaca


Pengalaman Magang di Belanda

Awal bulan ini, periode magang saya berakhir. Project berdurasi empat bulan yang saya jalani di Significance, sebuah konsultan pemodelan transportasi di Den Haag, ditutup dengan agenda saya memberikan lunch-talk tentang hasil pekerjaan saya pada seluruh kolega kantor. Beragam rasa: senang, bangga, lega, haru dan sendu saling berkelindan dalam benak saya setelah sesi itu selesai.

Performa magang

Performa solusi yang saya kembangkan (kanan) dibanding solusi lama perusahaan (kiri). Terlihat solusi saya jauh lebih stabil (minim varians). 

Tiga rasa pertama yang saya sebutkan tentu saja hadir. Sebab berakhirnya magang ini berarti banyak: pertama tentu saja arti trivia-nya yang berarti riset saya selama empat bulan membuahkan hasil yang memuaskan! Solusi yang saya sintesis berperforma sangat baik dan membawa Significance beberapa langkah di depan persaingan antar  perusahaan pemodelan serupa lainnya. Arti kedua, akhir magang ini manandai secara de-facto selesainya semester 3 (dari 4 semester total)  dari program studi yang saya ambil. Dan arti terakhir, saya berhasil memenuhi bagian kurikulum wajib dari program studi.

Izinkan saya mengelaborasi makna terakhir yang satu ini. Sebagai mahasiswa yang mengambil minor Science-Based-Busines untuk penunjang major utama (matematika), saya dikenakan kewajiban untuk melaksanakan magang profesional. Harus dilakukan, tidak bisa tidak. Kewajiban ini awalnya Lanjutkan membaca


Kejujuran (memang benar-benar) Mahal Harganya

Halo semua!

Ada sebuah ungkapan klasik yang saya yakin kita sudah pasti pernah mendengarnya:

“Kejujuran mahal harganya”

HONESTY-PICTURE-honesty-13169973-446-284

Dulu, masa-masa pertama kali berkenalan dan mengetahui ungkapan ini, saya menilai ungkapan ini bermakna konotatif. Ungkapan ini bermuatan filosofis. Dalam arti, kata ‘mahal’ disini tidak dapat divaluasi dengan uang, sebagaimana makna harfiahnya.

Namun, saat ini saya telah mengubah (lebih tepatnya: memperluas) pemaknaan saya atas ungkapan tersebut. Seiring berjalannya waktu, saya menemukan premis-premis yang membuat ungkapan tersebut dapat benar-benar dimaknai secara denotatif/harfiah. Dan karenanya, saya termasuk orang yang berspekulasi bahwa mungkin saja asal mula ungkapan tersebut adalah memang dari kenyataan bahwa kejujuran itu benar-benar mahal secara material.

Premis pertama saya temui sekitar 5 tahun lalu, saat saya masih berstatus mahasiswa S1. Di suatu obrolan lepas, salah seorang teman berkata bahwa kejujuran itu akan mengefisienkan banyak proses (usaha), yang pada ujungnya berdampak pada penurunan biaya penyelenggaran usaha tersebut. Masih bingung? Lanjutkan membaca


Terkadang, Semua memang (hanya) perlu Waktu

Salam hangat, teman-teman!

Di suatu pagi, beberapa bulan yang lalu, saya bangun dengan terburu-buru. Sebabnya adalah, saya baru teringat harus mampir dulu ke kantor administrasi kampus untuk membayar uang sewa housing (flat) bulanan, sementara jadwal kuliah pagi menghadang pula hari itu. Jadi lah saya menjalani ritual pagi dengan speed tercepat yang saya bisa.

Salah satu rangkaian ritual adalah memasak nasi (derita orang Indonesia yang tak bisa move on dari nasi). Saya merutuki diri, kemrungsung.  Sebab sadar tak peduli betapa inginnya saya untuk cepat-cepat menyelesaikan  rutinitas pagi itu, literally I can do nothing to rush the rice cooker working faster. Suka tak suka, mepet tak mepet, setidaknya saya harus menunggu selama 20 menitan sampai nasi matang.

Rice cooker bekerja ternyata memang hanya perlu waktu.

Di kesempatan lain namun masih dengan tema serupa: buru-buru, saya hanya punya chicken wings instan siap goreng untuk menjadi lauk saya hari itu. Diburu waktu, saya menggoreng chicken wings dengan mengatur api paling besar, maksud hati agar cepat matang. Seolah benar, saya mendapati warna kulit chicken wings yang saya goreng cepat sekali berubah jadi kecokelatan–pertanda telah matang. Hore cepat matang! Namun nyatanya, Lanjutkan membaca


Amanat Pembina Apel Pagi Asrama: Sukses sebagai Buah Penafsiran

Pagi itu, pukul setengah enam, insan asrama putra TPB (Tingkat Persiapan Bersama) IPB berhamburan keluar gedung asramanya. Masih dalam periode akulturasi, kami diwajibkan untuk mengikuti apel setiap pagi harinya. Apel pagi itu nyaris sama saja dengan apel yang sudah-sudah, kecuali dengan amanat apel yang disampaikan.

Saya rasa kita sepakat bahwa kebanyakan amanat apel membosankan. Pembina apel biasanya tidak akan jauh dari menyampaikan himbauan ini-itu yang sifatnya normatif secara lugas, yang disusun per-poin (supaya runut). Namun amanat apel pagi itu berbeda. Bang Je, pembina apel, sangat apik mengemas amanat apel agar tidak membosankan dengan bercerita ringan, namun sarat akan makna seperti berikut.

***

Alkisah, hiduplah sebuah keluarga kaya dengan dua orang putra yang masih belia. Sang ayah mendapatkan kekayaannya dari sebuah kebun yang teramat luasnya. Kebun itu ia tanami berbagai macam sayur-mayur lagi aneka buah-buahan, lantas rupa-rupa hasil bumi dari kebunnya itu ia jual secara rutin ke pasar-pasar di sekitar desa. Dengan usahanya ini, sang ayah menghidupi keluarganya dengan sangat kecukupan.

gambar kebunNamun,  karena terlalu sayangnya dengan kedua putranya, sang ayah tidak pernah sedikitpun membiarkan anak-anaknya mengetahui pekerjaannya, tentang dari mana sumber penghasilannya berasal. Barangkali, sang ayah tak ingin anak-anaknya menghidupi diri dan keluarganya seperti dirinya, dengan bekerja (lebih banyak) dengan otot, bukan dengan otak. Setali tiga uang, kedua putranya juga tak pernah terbersit rasa penasaran untuk mengetahui seperti apa Lanjutkan membaca


Terimakasih, Bapak

Dua tahun yang lalu, aku mengenalmu, tak sengaja dan bukan mauku. Adalah maumu tuk mengenalku, ditengah banyak orang mencemooh diriku. Maumu mengenalku saja sudah membuktikan kualitas dirimu: think positive.

19 Ramadhan 1436 Hijriah, kau membuatku mengerti bahwa seleksi masuk kerja adalah sesuatu yang (bisa) sangat staight-forward, hanya dengan wawancara 45 menit saja. 

23 Ramadhan 1436 Hijriah, kau mengirimku ke Sumatera, katamu perjalanan dinas kantor. Padahal, tau apa anak ingusan tanpa pengalaman mensosialisasikan produk kantor hanya dengan 3 hari bekerja? Sesaat setelahnya, aku sadar bahwa itu caramu agar aku bisa pulang kampung berlebaran dengan orang tua dan berbangga diri berkata “Bapak, Ibu, ini THR anakmu”. 

Kau yang menyuruh supirmu mengantarku ke rumahmu, dan memilih menumpang mobil kantor untuk pulang malam-malam.  Padahal bisa saja kau dengan segala otoritasmu menyuruhku berkereta saja ke Pasar Minggu, toh juga jauh lebih cepat dan punya hak apa aku menikmati fasilitasmu? Aku (juga) baru tersadar setelahnya, kau tidak ingin aku kelelahan, berjibaku dengan sesaknya kereta jam pulang kerja.

Dan seluruh kebaikan lain yang kau lakukan kepadaku.

Dan seluruh kebaikan lain yang kau lakukan kepadaku.

Jika hidup adalah terminal persinggahan, maka terlalu banyak hal baik yang engkau  perbuat di terminal singgah ini, tibalah sudah jadwal keberangkatan kendaraan yang kau pilih untuk pergi ke tujuan. 

Terimakasih, Bapak. 

Aku percaya Bapak bahagia di tujuan.


Cara Kerja Nur-ani dan Hal yang Mempengaruhinya

Salam dan selamat malam semuanya!

Seminggu yang lalu, saya mengunggah status status ikhwal renungan saya tentang Nur-ani. Sesuatu yang saya sebut sebagai ‘self-valuating system‘ yang dimiliki oleh setiap kita. Redaksi lengkap status tersebut adalah demikian:

status

Pada tulisan versi blog ini, saya ingin menambahkan penjelasan (versi saya tentunya) tentang bagaimana cara kerja Nur-ani melakukan tugasnya sebagai ‘self-valuating system’. Namun sebelum kesana, saya ingin terlebih dahulu kita satu pemahaman tentang apa sebenarnya makhluk yang bernama Nur-ani ini.

Nur-ani adalah pengejewantahan dari seluruh nilai-nilai kehidupan yang tertanam dalam diri kita. Tentu kita semua paham apa itu nilai-nilai kehidupan. Kejujuran, rendah hati, ringan tangan, ikhlas, lapang dada, disiplin, tidak mengambil hak orang lain, dan seterusnya dan seterusnya. Mereka lah yang membentuk rupa dari Nur-ani kita (jika kita punya nilai-nilai tersebut).

Diagram NUrani

Pembentukan Nur-ani

Nur-ani bertindak sebagai ‘self-valuating system’ karena ia layaknya metal detector yang sering kita jumpai di bandara. Ketika seseorang dengan logam (besi) masih dikenakannya, maka metal detector akan berbunyi. Dan prosedur normatifnya adalah orang tersebut tidak boleh masuk. Masalah orang tersebut ternyata dipersilakan masuk atau tidak, sebenarnya ada pada kendali penuh petugas bandara. Sama dengan Nur-ani. Nur-ani akan ‘berbunyi’ memberi peringatan pada empunya ketika empunya hendak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai yang tertanam dalam dirinya. Namun ‘bunyi’ tersebut hanya sebatas peringatan. Masalah akhirnya empunya melakukan atau tidak melakukan tindakan tersebut, itu terserah keputusan empunya (Ini konsep yang sejatinya punya makna yang dalam).

Selanjutnya, berikut adalah cara kerja Nur-ani yang saya coba ilustrasikan dalam 4 panel gambar berurut: Lanjutkan membaca


Tentang Kehilangan

Selamat malam blog-walkers yang baik hatinya! 🙂

Pada post kali ini, saya akan bercerita soal kejadian yang saya alami pada penghujung tahun 2016 kemarin. Ahya! It’s 2017 already guys, happy new year anyway! Kejadian yang mungkin –dan memang– pantas dibilang annoying sih. Weh, kejadian apakah, Parara?

Kecopetan

*hening sejenak*

***

Jumat, 30 Desember 2016

Saya membangunkan adik, Akbar Indarjo, dan menyuruhnya mandi. Hari itu sudah saya agendakan menjadi agenda inti dari liburan akhir tahunnya –sekaligus menengok abangnya– di Jakarta. Kami (terutama Akbar) senang, akhirnya ia bisa benar-benar berlibur akhir tahun di Jakarta, sebab rencana yang sama tahun lalu batal dikarenakan satu dan lain hal. Maka setelah packing seperlunya dalam satu tas ransel dan sarapan, kami berangkat menuju Jungle-land Bogor.

Di Stasiun Juanda, saat baru saja sampai, saya spontan memberitahu Akbar tentang rule utama membawa tas di tempat keramaian –dan di kota besar– : menaruh tas di depan badan. Ah, mungkin ini pertanda yang pertama. Lanjutkan membaca


Berdamai dengan Rencana-Mu

Selamat Ahad rekan-rekan yang budiman!

Maafkan saya yang baru muncul ke permukaan. Berbulan-bulan saya (sengaja) break dari blog karena suatu alasan. Siang ini, saya akan menceritakan alasan ke-vakum-an saya tersebut, sekaligus mencoba mengambil sedikit hikmah yang terserak diantaranya.

Kita mulai, ya?

***

Semua bermula saat saya menerima SK pengangkatan sebagai karyawan tetap di kantor, bulan Juli kemarin. Itu artinya, genap setahun sudah saya bekerja. Genap setahun pula saya meninggalkan bangku sekolah. Sudah tiba saatnya untuk mencoba merealisasikan rencana studi saya pada jenjang sekolah yang selanjutnya.

Saya pun menyingsingkan lengan baju, membulatkan tekad untuk menyiapkan segala hal yang harus disiapkan. Sebab, ternyata perkara melanjutkan sekolah pasca kita bekerja itu tak semudah yang ada dalam benak saya. Dahulu, saya berpikir akan mudah bagi seseorang yang telah bekerja untuk melanjutkan sekolah. Saya selalu mendengar orang-orang bercerita “Si kakak X tuh disekolahin kantornya di Inggris” atau “Om gue dulu dapet beasiswa dari kantornya dikuliahin di Ausie”. Dari cerita-cerita tentang orang yang telah bekerja dan melanjutkan studi tersebut, saya menarik benang merah berupa redaksi “disekolahkan kantor”, “beasiswa kantor”. Which is, implikasinya adalah
Lanjutkan membaca


Terharu Itu Sederhana

Selamat berpuasa di hari ke-27 rekan-rekan sekalian!

Pagi ini saya sumringah betul, sebab hari ini saya mudik ke kampung halaman! Finally bisa kembali ke Sampit tercinta setelah setengah tahun. Doakan saya selamat sampai tujuan ya! 🙂

image

Selain ingin berkabar tentang ke-mudik-an saya, melalui post kali Saya akan mencoba bercerita tentang hal-hal yang membuat saya terharu. Ya, di bulan ramadhan tahun ini hanya mengalami beberapa kejadian yang membuat saya (sangat) terharu. Di post kali ini saya akan menceritakan dua diantaranya. Dua kejadian ini sebenarnya sudah pernah saya alami sebelumnya tapi tetap saja sangat spesial rasanya jika terjadi — dan selalu membuat saya terharu. Baik, apakah gerangan Par, hal yang membuatmu terharu?

***
Sujud Tilawah dalam Shalat

image

image

Sumber: muslim.or.id

Betul sekali, semenjak saya membaca cerita pada buku agama islam SMP saya (yang dapat dilihat pada post ini),  ya jadi sangat terobsesi untuk merasakan Lanjutkan membaca