Category Archives: Tebaran kebaikan

Cara Menyampaikan Kritik dengan Kaidah ‘Oreo’

Halo, salam semuanya!

Sebagai prolog, saya ingin menyampaikan permintaan maaf. Berhubung sikon saya sedang fokus dengan penelitian thesis, saya jadi lebih jarang menyambangi dan ‘menafkahi’ blog ini dengan tulisan baru. Padahal, kalau boleh jujur (ya boleh lah, jujur  memang (boleh) dilarang?!), sebenarnya rancangan tulisan ada puluhan di kotak draft, menunggu untuk dieksekusi.

Namun apa mau dikata, penelitian saya tentang reinforcement learning mengharuskan saya untuk berkutat dengan loop: paper-literature-synthesis-code-repeatAlhamdulillah, saat ini insya Allah topik spesifik sudah disepakati. Fokus saya saat ini adalah memastikan aspek substansi matematik dalam thesis cukup kuat, dengan mengeksplorasi riset teoretikal pada metode awal yang saya ajukan. As always, mohon doanya ya!

Baiklah, mari kita eksekusi satu draft tulisan yang muncul sejak sekitar setengah tahun yang lalu ini. Selamat membaca!

***

menyampaikan kritik

orang mendapatkan kritik

Kritik. Siapa yang mau dikritik? Saya rasa tak semua orang bisa dengan senang hati menerima kritik yang disampaikan padanya, bahkan meskipun hal yang dikritik adalah sesuatu yang sebenarnya benar Lanjutkan membaca


Sekilas tentang Social Impact

Bagi para generasi milenial alias Gen-Y dan mungkin juga Gen-Z yang tak sepenuhnya acuh dengan perkembangan informasi, besar kemungkinan telah familiar dengan sesuatu yang bernama “Social Impact”. Pasalnya, istilah ini dapat dibilang sedang naik  daun belakangan.

Secara spesifik, istilah ini sering kita temui pada artikel pemberitaan media bertemakan start-up (perusahaan rintisan). Sebut saja Go-Jek dan Bukalapak. Kedua start-up ini dalam banyak kesempatan mengutarakan bahwa salah satu misi perusahaannya adalah menciptakan social impact. Di wadah yang lain, social impact juga sering diangkat dalam seminar-seminar kemahasiswaan maupun kewirausahaan terkini.

Lantas, apa sebenarnya social impact itu?

Social impact adalah dampak positif yang dirasakan oleh suatu kelompok masyarakat tertentu yang muncul sebagai akibat dari suatu aksi/kegiatan tertentu.

Dari definisi social impact di atas, dapat diketahui bahwa cakupan social  impact itu luas sekali. Boleh dibilang, kata kuncinya adalah “pemberdayaan masyarakat”. Selama memenuhi kata kunci ini, maka dapat digolongkan sebagai social impact. Dalam hal ini perlu ditekankan bahwa pemberdayaan memiliki banyak dimensi, seiring dengan banyak dan kompleksnya aspek dalam kehidupan masyarakat. Sebab Di dalamnya termasuk aspek ekonomi/finansial, pendidikan, dan yang lainnya.

Sekarang mari beranjak membahas contoh dari social impact di kehidupan kita sehari-hari.

Kembali menyinggung bahasan di awal. Dalam konteks misi yang dikampanyekan oleh perusahaan rintisan seperti Go-Jek, social impact yang dimaksud ada pada aspek ekonomi/finansial. Platform aplikasi ojek online yang mereka kembangkan telah menjelma menjadi Lanjutkan membaca


Tips Kuliah di Luar Negeri: Prolog

Beberapa tahun terakhir, rasanya sudah menjadi rahasia umum bahwa “melanjutkan kuliah di luar negeri” merupakan salah satu impian mainstream yang dimiliki oleh banyak (maha)siswa kita. Jika ditarik ke belakang, salah satu penyebabnya mungkin adalah buku fenomenal Negeri Lima Menara yang mengisahkan perjalanan hidup pengarangnya Ahmad Fuadi.

Melalui buku ini, Ahmad Fuadi sukses mendemonstrasikan betapa kuatnya dampak dari sebuah buku. Seperti Laskar Pelangi yang berhasil mengubah sebuah pulau (Belitung), Negeri Lima Menara tak kalah sukses memperkenalkan dan menancapkan paham “man jadda wajada” pada kita, kemudian lantas digunakan sebagai pembenaran untuk tidak takut bermimpi setinggi langit, yang salah satunya tentu saja: sekolah di luar negeri.

negri5menara2

Sebelum munculnya buku ini, saya rasa banyak dari kita sepaham bahwa kuliah di luar negeri adalah hal yang termasuk dalam takdir mubram, yakni takdir yang sifatnya mutlak, tidak bisa kita apa-apakan lagi. Sebab, Lanjutkan membaca


Kejujuran (memang benar-benar) Mahal Harganya

Halo semua!

Ada sebuah ungkapan klasik yang saya yakin kita sudah pasti pernah mendengarnya:

“Kejujuran mahal harganya”

HONESTY-PICTURE-honesty-13169973-446-284

Dulu, masa-masa pertama kali berkenalan dan mengetahui ungkapan ini, saya menilai ungkapan ini bermakna konotatif. Ungkapan ini bermuatan filosofis. Dalam arti, kata ‘mahal’ disini tidak dapat divaluasi dengan uang, sebagaimana makna harfiahnya.

Namun, saat ini saya telah mengubah (lebih tepatnya: memperluas) pemaknaan saya atas ungkapan tersebut. Seiring berjalannya waktu, saya menemukan premis-premis yang membuat ungkapan tersebut dapat benar-benar dimaknai secara denotatif/harfiah. Dan karenanya, saya termasuk orang yang berspekulasi bahwa mungkin saja asal mula ungkapan tersebut adalah memang dari kenyataan bahwa kejujuran itu benar-benar mahal secara material.

Premis pertama saya temui sekitar 5 tahun lalu, saat saya masih berstatus mahasiswa S1. Di suatu obrolan lepas, salah seorang teman berkata bahwa kejujuran itu akan mengefisienkan banyak proses (usaha), yang pada ujungnya berdampak pada penurunan biaya penyelenggaran usaha tersebut. Masih bingung? Lanjutkan membaca


Terkadang, Semua memang (hanya) perlu Waktu

Salam hangat, teman-teman!

Di suatu pagi, beberapa bulan yang lalu, saya bangun dengan terburu-buru. Sebabnya adalah, saya baru teringat harus mampir dulu ke kantor administrasi kampus untuk membayar uang sewa housing (flat) bulanan, sementara jadwal kuliah pagi menghadang pula hari itu. Jadi lah saya menjalani ritual pagi dengan speed tercepat yang saya bisa.

Salah satu rangkaian ritual adalah memasak nasi (derita orang Indonesia yang tak bisa move on dari nasi). Saya merutuki diri, kemrungsung.  Sebab sadar tak peduli betapa inginnya saya untuk cepat-cepat menyelesaikan  rutinitas pagi itu, literally I can do nothing to rush the rice cooker working faster. Suka tak suka, mepet tak mepet, setidaknya saya harus menunggu selama 20 menitan sampai nasi matang.

Rice cooker bekerja ternyata memang hanya perlu waktu.

Di kesempatan lain namun masih dengan tema serupa: buru-buru, saya hanya punya chicken wings instan siap goreng untuk menjadi lauk saya hari itu. Diburu waktu, saya menggoreng chicken wings dengan mengatur api paling besar, maksud hati agar cepat matang. Seolah benar, saya mendapati warna kulit chicken wings yang saya goreng cepat sekali berubah jadi kecokelatan–pertanda telah matang. Hore cepat matang! Namun nyatanya, Lanjutkan membaca


Catatan Kontemplasi untuk Para Aktivis Mahasiswa

Catatan Aktivis

Apa yang ada di benak kalian saat ditanyai definisi aktivis? Di benak penulis, Aktivis adalah gelar yang disandang oleh segolongan mahasiswa yang aktif di (berbagai) organisasi di lingkungan kampusnya. Mereka yang menyandang gelar ini biasanya dikenal sebagai mahasiswa-mahasiswa idealis yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur kehidupan yang semakin hari semakin usang dan cenderung ditinggalkan –oleh kebanyakan generasi muda zaman sekarang.

Sebagai konsekuensi dari banyaknya ‘mainan’ organisasi yang mereka punya, mereka sudah pasti memiliki banyak kegiatan di luar kelas perkuliahan. Rapat koordinasi ini, rapat persiapan acara itu, dan rapat-rapat yang lain diselingi sekali-dua melakukan aksi turun ke jalan alias demo, pokoknya kegiatan mereka banyak. Konon, rapat bagi mereka sudah seperti makan, (minimal) tiga kali sehari!

Membicarakan apa yang menjadi isi kepala para aktivis niscaya hanya akan meninggalkan decak kagum. Sebab mereka sudah biasa memikirkan banyak hal yang lebih besar dari sekadar “Nanti malam enaknya makan apa ya?” atau “Liburan semester nanti liburan ke mana ya?”. Sama sekali jauh lebih besar dari hal-hal picisan semacam itu.

Mereka tak jarang memikirkan hal-hal yang telah menyentuh skala ‘negara’. “Kenapa masih banyak penduduk miskin di Indonesia?” “Apa yang salah dengan

Lanjutkan membaca


Menjadi Minoritas & Self Re-Inventing: Duta Seperti Apa Kita?

Izinkan saya memulai tulisan ini dengan menukil salah satu kata-kata bijak klasik:

Hidup sejatinya adalah perjalanan

Sebagai manusia yang hidup dalam peradaban (yang katanya) tinggi, selama hidup kita sampai dengan hari ini, kita tentu pernah mengalami fenomena “transisi lingkungan”. Kita berpindah dari lingkungan lama, dan masuk ke lingkungan yang (sama sekali) baru. Contoh trivial sangat mungkin terjadi pada saat perpindahan level sekolah kita, bisa jadi dari SD ke SMP, SMP ke SMA, maupun SMA ke Perguruan Tinggi. Contoh lain misalnya ketika kita mendaftar kursus, les di bimbingan belajar, dan sebagainya.

Saya pribadi mengalami beberapa kali peristiwa semacam ini. Saat transisi dari SD ke SMP (saya adalah satu-satunya lulusan SD saya yang melanjutkan ke SMP tersebut), transisi dari SMA ke Perguruan tinggi (kali ini tidak sendiri, tetapi –hanya– berdua, alumni SMA saya yang melanjutkan ke IPB), dan yang masih baru adalah mimpi jadi nyata saya: melanjutkan sekolah di negeri orang. Saya adalah satu-satunya alumni kampus saya yang saat ini sedang aktif menimba ilmu di Leiden.

Ada dua kesamaan yang mengikuti setiap fenomena transisi lingkungan terjadi. Pertama adalah perubahan status saya relatif terhadap lingkungan, yakni mayoritas menjadi minoritas. Komunitas sosial yang saya melekat padanya di lingkungan lama sudah tak lagi menjadi mayoritas di lingkungan yang baru. Kesamaan kedua yakni

Lanjutkan membaca


Amanat Pembina Apel Pagi Asrama: Sukses sebagai Buah Penafsiran

Pagi itu, pukul setengah enam, insan asrama putra TPB (Tingkat Persiapan Bersama) IPB berhamburan keluar gedung asramanya. Masih dalam periode akulturasi, kami diwajibkan untuk mengikuti apel setiap pagi harinya. Apel pagi itu nyaris sama saja dengan apel yang sudah-sudah, kecuali dengan amanat apel yang disampaikan.

Saya rasa kita sepakat bahwa kebanyakan amanat apel membosankan. Pembina apel biasanya tidak akan jauh dari menyampaikan himbauan ini-itu yang sifatnya normatif secara lugas, yang disusun per-poin (supaya runut). Namun amanat apel pagi itu berbeda. Bang Je, pembina apel, sangat apik mengemas amanat apel agar tidak membosankan dengan bercerita ringan, namun sarat akan makna seperti berikut.

***

Alkisah, hiduplah sebuah keluarga kaya dengan dua orang putra yang masih belia. Sang ayah mendapatkan kekayaannya dari sebuah kebun yang teramat luasnya. Kebun itu ia tanami berbagai macam sayur-mayur lagi aneka buah-buahan, lantas rupa-rupa hasil bumi dari kebunnya itu ia jual secara rutin ke pasar-pasar di sekitar desa. Dengan usahanya ini, sang ayah menghidupi keluarganya dengan sangat kecukupan.

gambar kebunNamun,  karena terlalu sayangnya dengan kedua putranya, sang ayah tidak pernah sedikitpun membiarkan anak-anaknya mengetahui pekerjaannya, tentang dari mana sumber penghasilannya berasal. Barangkali, sang ayah tak ingin anak-anaknya menghidupi diri dan keluarganya seperti dirinya, dengan bekerja (lebih banyak) dengan otot, bukan dengan otak. Setali tiga uang, kedua putranya juga tak pernah terbersit rasa penasaran untuk mengetahui seperti apa Lanjutkan membaca


Sedikit Tips Memenangkan IELTS 6,5

Salam semangat, para pemimpi!

Yap, tulisan ini saya dedikasikan kepada kalian yang memimpikan banyak hal, namun masih terganjal oleh sebuah handicap bernama IELTS. Handicap yang seolah menjadi pintu gerbang (yang saat ini masih tertutup rapat), menjadi sekat bagi kalian dari kota  berjudul ‘melanjutkan kuliah di luar negeri’, ‘berpartisipasi dalam konferensi insternasional’, ‘mendaftar short course‘, atau bahkan ‘melamar pekerjaan ideal’.

ielts-banner

IELTS Bukan Pilihan

Boleh jadi, kalian memang sedang mengidam-idamkan salah satu dari hal yang saya sebutkan di atas, dan kalian mendapati diri kalian (sangat) tidak mumpuni ber-casciscus Inggris dan paranoid dengan bahasa Inggris. Lantas kalian berpikir, “adakah cara menggapai impian saya ini tanpa harus menaklukkan IELTS?”.

Sayang sekali, jawaban dari pertanyaan itu adalah TIDAK. IELTS, atau secara lebih general adalah English Proficiency Certificate sudah menjadi persyaratan wajib yang digunakan sebagai salah satu parameter kelayakan untuk mendaftar banyak hal, khususnya bersekolah di luar negeri Jadi mulai sekarang, jadilah rasional. Jika kalian hendak melanjutkan sekolah di luar negeri, maka kalian harus mendapatkan skor IELTS yang memadai. Implikasi ini bernilai mutlak. Berhentilah berandai-andai “saya akan tetap bisa menggapai mimpi saya (bersekolah di luar negeri) tanpa harus pusing-pusing belajar IELTS”.

Lalu, berapa skor yang harus menjadi target? Menurut saya, 6,5 adalah batas bawah yang cukup universal. Sebab sepanjang yang saya ketahui, rata-rata institusi yang mensyaratkan IELTS memberikan batas bawah 6,0-6,5 untuk skor keseluruhan, dengan ketentuan tambahan skor minimal 6,0 untuk masing-masing section (listening, reading, writing dan speaking).

Tips Mempersiapkan Diri

Seperti yang sudah saya sebutkan, tes IELTS terdiri dari 4 sesi, yang masing-masing memiliki karakteristik dan tantangannya sendiri-sendiri. Berikut adalah Lanjutkan membaca


2017’s Grateful Project

Good Evening, everyone!

Post kali ini akan berisi salah satu resolusi konkret saya pada tahun 2017 ini. Wah, tahun barunya kan sudah lewat setengah bulan, Parara? Well, memang terlambat sedikit sih. But nevermind, i believe there is no “too late” for sharing the good things 🙂

***

Random scroll saya pada akun 9GAG di Line awal tahun kemarin menjadi muasal dari munculnya resolusi ini. FYI, saya memang cukup sering escape sejenak ke akun-akun dengan konten fun seperti 9GAG dan tahilalats setiap kali jenuh menyergap diri. 9gag kuat dengan konten lucu dan tak jarang juga mengagumkan, sedangkan tahilalats selalu berhasil menyuguhkan komik strip yang slank, yang absurd tapi kocak. Karenanya saya suka menghabiskan waktu bersama dua makhluk ini, padahal sih kalau mau jujur lebih suka sama kamu, tapi berhubung kamunya yang sibuk melulu, ya mau dikata apa (woy siapa woy Paar! ahaha).

Skip, mari kembali ke topik. Jadi saat itu saya menemukan post begini:

Lanjutkan membaca