Dulu, zaman sekolah dasar, musim kemarau punya salah satu hal yang menurut saya keren. Kabut. Sesuatu berwarna putih tak bisa digenggam yang membuat suasana pagi kota kami menjadi terlihat keren, menurut saya waktu itu. Bagaimana tidak? Sebab sesuatu itu membuat kota kami menjadi tampak seperti kota-kota di film-film barat yang para aktornya mengenakan jaket tebal dan kupluk penutup kepala sampai telinga. Kota di negara empat musim, yang sedang merayakan musim dingin penuh salju.
Dulu, saya pikir, kabut adalah fenomena alam yang patut dibanggakan dari kota kami. Bagaimana tidak? Kota kami nyaris sepanjang tahun akrab dengan teriknya matahari –dan membuat kota kami nyaris selalu terang benderang di siang hari. Dan, setiap kota kami diselimuti kabut, semuanya tampak jauh berbeda. Tetangga-tetangga sebelah rumah tampak bahagia dan saling berseloroh –dengan nada agak-agak bangga. “Uma, mantab lalu harinya lah, kaya di pegunungan”* atau “hebat nah, kabut ni meolah pagar kada kelihatan dari teras sini ja”**. Saya bersama abang saya juga tak mau ketinggalan merayakan fenomena alam ini dengan memamerkan hembusan nafas yang bisa terlihat dan tampak seperti asap rokok jika dikeluarkan perlahan dari mulut. Ajaib bukan? Sebab saat kabut datang, pagi menjadi jauh lebih dingin dari biasanya.
Dulu, saya adalah salah satu anak yang sangat bahagia dengan datangnya kabut ke kota kami. Betapa tidak? Jika kabut sedang putih-putihnya, sekolah mengeluarkan kebijakan untuk memulai proses kegiatan belajar mengajar lebih siang, pukul 8. Murid mana yang tidak bahagia masuk (lebih) siang? Sebab waktu itu, sepekat-pekatnya kabut, ia akan menghilang, berkurang secara drastis sesaat setelah jam 8 pagi. Membuat semuanya kembali terang benderang, tidak membahayakan siswa-siswi yang mesti menyeberang jalan raya jika hendak menuju sekolahnya (atas risiko ditabrak oleh motor/mobil karena jarak pandang yang minim).
Dulu, saya pikir, kabut adalah refreshing time bagi semua orang di kota kami. Rehat sejenak dari kepenatan rutinitas sehari-hari. Betapa tidak? Nyaris semua orang, pelajar, pegawai kantor, ibu-ibu rumah tangga, para penjual di pasar, pak polisi, semuanya tampak lebih santai menjalani kegiatan hariannya. Semua bisa sedikit bermalas-malasan, sebab semua kegiatan bisa dimulai lebih siang. Lantas orang-orang menghabiskan waktu pagi dengan berkegiatan di dalam rumah saja. Tak pelak, kehangatan bercengkrama antar anggota keluarga, bahasa kekiniannya: quality time, meningkat frekuensinya. Dua minggu, atau paling lama tiga minggu setelahnya, semuanya kembali normal. Kabut menghilang, semuanya kembali seperti semula. Kabut undur diri tanpa sempat muncul banyak protes dari warga yang anggota keluarganya jatuh sakit karenanya, atau sekadar bosan dengan pagi yang lebih dingin dari biasanya.
Saat ini, Oktober 2015, semua dan benar-benar semuanya pemahaman menyenangkan saya tentang kabut di kota kami berubah 180 derajat! Lihatlah betapa mengerikannya kota kami saat ini! Siang-siang yang harusnya terang benderang tampak seperti senja kuning teramat tua yang minim cahaya dan mencekam! Seharian penuh kabut menyelimuti kota tanpa jeda secuil pun! Udara yang nikmat dihirup menjadi lebih menyesakkan dari asap rokok! Bandara lumpuh sejak lebih dari dua bulan yang lalu! Berkegiatan di dalam rumah saja biar aman? Jangan harap! Kabut telah menyusup bulat-bulat ke dalam setiap rumah, udara di dalam dan luar rumah nyaris sama sesaknya! Tak ayal, anak-anak, bapak, ibu, semuanya berjatuhan sakit, dadanya terlampau sesak menghirup udara yang semakin hari semakin menjelma menjadi tak ubahnya gas karbon monoksida yang mematikan!
Sungguh, ini semua sudah menjadi sama sekali tak lucu! Sungguh!
#tercekat
tengah hari di kota kami
***
*wah wah mantab sekali harinya seperti di pegunungan
**hebat nih, kabut membuat pagar rumah tidak terlihat dari teras sini