Category Archives: Mimpi

Tips Mendapatkan LoA

To some extent, melanjutkan kuliah di luar negeri dapat disamakan dengan sukses memiliki usaha sendiri: sama-sama sangat mudah dimimpikan namun hanya sedikit yang tau bagaimana cara memulainya. Seolah, peta rute yang menjelaskan detil tata-cara menjadikannya nyata tersimpan dalam sebuah kotak pandora yang tiada sesiapa pun tau di mana ia berada, alih-alih paham apa isinya. Dalam pada itu, jika kalian adalah jiwa-jiwa yang telah terlecut semangatnya untuk bersekolah di luar negeri (karena membaca tulisan ini, misalnya), maka tulisan ini boleh jadi merupakan perwujudan kotak pandora yang kalian cari-cari.

***

Letter of Acceptance

lounge departemen matematika Leiden University. Foto-foto di belakang itu riwayat semua  guru besar matematika Leiden  (ada Snellius loh!)

Kotak pandora itu bernama Letter of Acceptance (LoA)

Berdasarkan pengamatan saya, banyak orang yang menginginkan sekolah di luar negeri (tak terkecuali saya, dulu) tidak begitu paham bagaimana langkah-langkah teknis nan konkret untuk lolos mendaftar sebagai calon mahasiswa di universitas idamannya. Berbagi pengalaman pribadi, dulu saya sempat mengira bahwa mendapatkan LoA itu proses yang sangat sulit dan misterius.

Mengapa? Karena dari kabar burung yang saya dengar,  LoA itu hanya dikeluarkan secara eksklusif oleh profesor di kampus yang kita tuju. Dan, satu-satunya cara untuk mendapatkannya adalah kita harus memintanya secara langsung, dengan cara berkorespondensi via email. Belum selesai, di email, konon kita harus melampirkan Lanjutkan membaca


Tips Kuliah di Luar Negeri: Prolog

Beberapa tahun terakhir, rasanya sudah menjadi rahasia umum bahwa “melanjutkan kuliah di luar negeri” merupakan salah satu impian mainstream yang dimiliki oleh banyak (maha)siswa kita. Jika ditarik ke belakang, salah satu penyebabnya mungkin adalah buku fenomenal Negeri Lima Menara yang mengisahkan perjalanan hidup pengarangnya Ahmad Fuadi.

Melalui buku ini, Ahmad Fuadi sukses mendemonstrasikan betapa kuatnya dampak dari sebuah buku. Seperti Laskar Pelangi yang berhasil mengubah sebuah pulau (Belitung), Negeri Lima Menara tak kalah sukses memperkenalkan dan menancapkan paham “man jadda wajada” pada kita, kemudian lantas digunakan sebagai pembenaran untuk tidak takut bermimpi setinggi langit, yang salah satunya tentu saja: sekolah di luar negeri.

negri5menara2

Sebelum munculnya buku ini, saya rasa banyak dari kita sepaham bahwa kuliah di luar negeri adalah hal yang termasuk dalam takdir mubram, yakni takdir yang sifatnya mutlak, tidak bisa kita apa-apakan lagi. Sebab, Lanjutkan membaca


Sedikit Tips Memenangkan IELTS 6,5

Salam semangat, para pemimpi!

Yap, tulisan ini saya dedikasikan kepada kalian yang memimpikan banyak hal, namun masih terganjal oleh sebuah handicap bernama IELTS. Handicap yang seolah menjadi pintu gerbang (yang saat ini masih tertutup rapat), menjadi sekat bagi kalian dari kota  berjudul ‘melanjutkan kuliah di luar negeri’, ‘berpartisipasi dalam konferensi insternasional’, ‘mendaftar short course‘, atau bahkan ‘melamar pekerjaan ideal’.

ielts-banner

IELTS Bukan Pilihan

Boleh jadi, kalian memang sedang mengidam-idamkan salah satu dari hal yang saya sebutkan di atas, dan kalian mendapati diri kalian (sangat) tidak mumpuni ber-casciscus Inggris dan paranoid dengan bahasa Inggris. Lantas kalian berpikir, “adakah cara menggapai impian saya ini tanpa harus menaklukkan IELTS?”.

Sayang sekali, jawaban dari pertanyaan itu adalah TIDAK. IELTS, atau secara lebih general adalah English Proficiency Certificate sudah menjadi persyaratan wajib yang digunakan sebagai salah satu parameter kelayakan untuk mendaftar banyak hal, khususnya bersekolah di luar negeri Jadi mulai sekarang, jadilah rasional. Jika kalian hendak melanjutkan sekolah di luar negeri, maka kalian harus mendapatkan skor IELTS yang memadai. Implikasi ini bernilai mutlak. Berhentilah berandai-andai “saya akan tetap bisa menggapai mimpi saya (bersekolah di luar negeri) tanpa harus pusing-pusing belajar IELTS”.

Lalu, berapa skor yang harus menjadi target? Menurut saya, 6,5 adalah batas bawah yang cukup universal. Sebab sepanjang yang saya ketahui, rata-rata institusi yang mensyaratkan IELTS memberikan batas bawah 6,0-6,5 untuk skor keseluruhan, dengan ketentuan tambahan skor minimal 6,0 untuk masing-masing section (listening, reading, writing dan speaking).

Tips Mempersiapkan Diri

Seperti yang sudah saya sebutkan, tes IELTS terdiri dari 4 sesi, yang masing-masing memiliki karakteristik dan tantangannya sendiri-sendiri. Berikut adalah Lanjutkan membaca


My Journey to Holland

Assalam rekan-rekan.

Post kali ini akan menceritakan paruh kedua perjalanan saya menuju Holland (untuk bersekolah). Yakni cerita setelah babak pertama yang cukup mengharu biru. Selamat membaca!

***

Man Jadda Wa Jada.

Begitulah kira-kira satu kalimat yang mewakili keseluruhan kepingan cerita.

Setelah berhasil berdamai dengan kenyataan bahwa pendaftaran saya pada beasiswa LPDP tidak ter-record, saya tidak punya pilihan selain menunggu dengan takjim pembukaan batch selanjutnya. Dalam pada itu, membuka portal LPDP menjadi rutinitas baru saya.

Satu bulan berlalu.

“Pendaftaran beasiswa LPDP belum dibuka. Periode pendaftaran selanjutnya akan diinformasikan lebih lanjut”

Begitu kira-kira tulisan yang terdapat di  laman LPDP yang saya temui setiap kali saya membukanya.

Dua bulan berlalu.

Tidak bergeming, masih sama saja.

Hati mulai bertanya, ada apa? Kapan kah dibuka lagi? Oh mungkin awal Maret?

Jalan tiga bulan berlalu.

Lho, kok masih sama?!

mulai panik bung! Ada apakah gerangan?

Saya pun mencoba mencari keterangan dari sumber lain. Sejurus dua jurus kemudian, saya mendapat kabar dari salah seorang teman yang –ternyata– bekerja di LPDP, bahwa terdapat perubahan signifikan pada periode pendaftaran beasiswa LPDP tahun ini. Dikemukakan lah beberapa alasan yang melatarbelakangi kabar tersebut. Singkatnya, LPDP tahun ini tetap akan dibuka, namun waktunya masih tentatif.

Hah?!

Saya pias. Bagaimana bisa begini jadinya? Haruskah LoA saya defer lagi untuk kedua kalinya?  Lanjutkan membaca


It’s Just Too Good To Be True

Assalam. .

Alhamdulillah, rasanya tiada kata yang lebih tepat untuk memulai post ini selain dengan mempersembahkan segala pujian kepada Allah, Tuhan semesta alam.

Banyak hal (baik) yang terjadi setelah saya menulis pos yang terakhir di blog ini. Dua diantaranya akan saya bagikan pada pos kali ini. Kedua hal tersebut adalah Menikah & Melanjutkan Sekolah.

Menikah

Pada tanggal 9 Juli 2017, satu milestone besar dalam hidup saya terjadi: menikah. Akhirnya jiwa dan raga saya terpaut pada seorang wanita keturunan Jawa, namun lahir dan besar di Bintaro, bernama Niken Rahmah Ghanny. 

Sedikit share highlight dari perjalanan kami menuju pernikahan, Niken sebenarnya merupakan teman semasa tingkat 1 mahasiswa, kebetulan kami dulu satu kelas saat zaman Tingkat Persiapan Bersama (TPB). Walaupun teman sekelas, faktanya saya dan Niken boleh dibilang menjaga atmosfernya masing-masing alias sangat jarang bertegur sapa, alih-alih berteman dekat. Silaturahim bahkan menjadi hal yang mewah saat kami beranjak ke tingkat 2, dan seterusnya hingga lulus.

Tapi semua berubah sejak Dia, melalui timeline Line, mempertemukan jari-jari kami (halah bahasanya ya) pada awal tahun ini, tepatnya sekitar Februari. Semuanya (hubungan kami) berkembang secara bertahap dengan percepatan yang meyakinkan. Padahal, nyatanya tak satu pun tatap muka terjadi. Tapi rasanya mantab saja, anyhow. Mungkin ini kata orang: Jodoh akan mencari jalan kemantabannya sendiri.

Setelah saling berbagi visi dan pandangan akan hidup dan kehidupan, meminta restu dari orang tua, istikharah, berpikir dan merenung, serta mengulang tiga ritual terakhir berkali dan berkali. Akhirnya Lanjutkan membaca


2016 Greeting

Selamat berhari Minggu semua! 🙂

Setelah beberapa saat saya terhanyut dalam kelengahan yang mendalam –sehingga blog ini terbengkalai. Izinkan saya kembali menafkahi blog ini dengan sedikit cuap-cuap tentang tahun (baru) 2016. What?! Yeah, it’s already 2016, dude.

***

Lite Flashback of 2015

Terimakasih Allah, telah memberikan wujud terbaik 2015 kepada hamba-Mu ini. Begitu banyak peristiwa yang terjadi di tahun tempat bercokolnya Ultimate Pi Day ini, dengan nyaris semuanya adalah nikmat yang tiada terkira dari-Nya untuk saya. Apa saja emang, Par? Berikut daftar ringkasnya:

  • Ngebolang ke luar negeri.

Yap, penghulu dari semua momen super saya di tahun 2015 adalah hajatan saya bersama Geng Sin-Sum Adv Backpacker yang bertajuk berpetualang ke negeri dongeng Singapura dan Sumatera (bagi yang belum sempat baca cerita gajenya, silakan klik tulisan ini). Hajatan ini menjadi sangat spesial karena dua hal: pertama, ini adalah pertama kalinya saya menjejak kaki di luar wilayah NKRI tercinta. Kedua bertepatan dengan milad saya yang ke-21. Sedikit curcol, hajatan ini sebenarnya Lanjutkan membaca


Pararawendy, Bidikmisi dan Mimpi Pasca Kampus

Bidik Misi adalah program bantuan biaya pendidikan dan beasiswa yang dimotori oleh Ditjen Pendidikan Tinggi. Sejak diluncurkan pada tahun 2010 silam, bidik misi telah menguliahkan lebih dari seratus ribu mahasiswa yang kurang beruntung secara finansial, namun memiliki prestasi akademik yang baik. Mengusung tagline, “Menggapai Asa, memutus mata rantai kemiskinan”, bidik misi seolah benar-benar menjadi oase di tengah gurun berbentuk  dahaga-dahaga luar biasa besar dalam benak pemuda-pemudi indonesia yang haus untuk menuntut ilmu ke jenjang pendidikan tinggi, namun terganjal oleh alasan klise bernama kemiskinan.

IMG_001a

Saya, Pararawendy Indarjo, adalah pemuda dari kota kecil di Kalimantan Tengah yang beruntung bertemu dengan bidikmisi. Saya adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Bapak saya, Sularjo, adalah pegawai lapang pada bagian perencanaan dari salah satu BUMN yang bergerak dalam bidang kehutanan. Ibu saya, Asih Indarti, hanya sibuk mengurus rumah alias ibu rumah tangga. Sedikit membahas pekerjaan Bapak sebagai pekerja lapang, menghitung luasan lahan, mengukur diameter batang pohon, menebas semak untuk membuka lahan perusahaan adalah tugas utama yang menjadi rutinitas yang beliau jalani sebagai pekerjaan yang dicintainya sejak tahun 1984 beliau memutuskan merantau ke kalimantan. Sekali-dua, beliau juga ikut membantu proses pemanenan/penyadapan karet perusahaan. Laiknya pekerja lapang pada umumnya, sedikit (kalau tidak mau dibilang tidak ada) yang bisa dibanggakan tentang penghasilan bapak. Singkatnya, keluarga kami adalah keluarga yang sederhana. Mungkin, kelihaian ibu me-manage keuangan keluarga lah yang membuat kami, ketiga anaknya dapat bersekolah laiknya anak-anak lainnya, bahkan menyekolahkan kakak saya hingga jenjang D3.

Memang, jika coba membandingkan keadaan ekonomi, saya pikir, keluarga saya masih sedikit lebih beruntung dibandingkan dengan mayoritas teman-teman penerima bidikmisi lainnya. Saya pikir, kehidupan keluarga kami masih dapat dikatakan layak (secara sederhana, tentu saja). Dan mungkin fakta itu juga yang membuat saya “ditolak” sebanyak dua kali oleh panitia seleksi Bidik Misi IPB di angkatan saya. Saya baru dinyatakan sebagai penerima Bidik Misi di gelombang penerimaan yang ketiga, gelombang yang terakhir. Tentu saja, saya merasa sangat bersyukur karenanya. Bidik misi menghapus 100% kekhawatiran saya tentang ancaman ketidaklancaran studi (berkenaan dengan ihwal kewajiban administrasi).

Dengan sedikit latar belakang yang saya ceritakan tadi, tentu saja, makna bidikmisi bagi saya adalah priceless! tak ternilai! Tak pernah terbayangkan dalam benak saya sebelumnya bahwa saya bisa bersekolah di universitas sekelas IPB tanpa mengeluarkan uang serupiah pun! Tak pernah terbayang pula dalam benak saya, bagaimana ibu harus memutar otaknya lebih keras menyisihkan gaji bapak yang tak seberapa tadi untuk uang saku dan biaya kuliah saya jika saya tak berjodoh dengan bidik misi ini –walaupun ibu kala itu selalu meyakinkan saya bahwa semua (studi saya) akan baik-baik saja dengan atau tanpa bidikmisi. Karenanya, terimakasih bidikmisi, sungguh terimakasih.

Akhirnya, nyaris empat tahun berlalu. Alhamdulillah, puji syukur tak henti-hentinya saya hadiahkan ke hadirat-Nya, saya berhasil menyelesaikan studi S-1 saya di kampus rakyat ini. Terlebih, saya lulus dengan transkrip yang hanya memuat satu huruf saja, A. Benar, saya lulus dengan IPK 4.00. Saya dedikasikan pencapaian saya ini kepada orang tua saya, Bapak Sularjo, Ibu Asih Indarti, dan tentu saja kepada Bidik Misi.

Setelah resmi menyandang gelar sarjana, rencana saya kedepan adalah sesegera mungkin mendapatkan pegangan. Pegangan dalam artian dua, yakni mendapatkan kepastian untuk melanjutkan studi jenjang master –yang memang saya mimpikan di luar negeri– sesegera mungkin, atau bekerja. Sebab saya masih punya tanggungan satu adik untuk dikuliahkan kelak. Kalau boleh saya bercerita, harapan saya dapat berkarya di lembaga bonafit yang memungkinkan staff nya untuk melanjutkan studi. Jika ditanya lebih spesifik, saya bermimpi untuk berkarya di OJK (Ototritas Jasa Keuangan), sebab OJK adalah lembaga negara dan bidang keilmuannya relatif linear dengan latar belakang keilmuan saya (Finance, actuarial math). Sebab tentu saja, saya masih pemuda yang sama dengan pemuda empat tahun lalu yang ingin melanjutkan studi ke tingkat yang lebih tinggi, pemuda yang haus akan ilmu!


Random Comeback: I Have a Dream!

Malam semua! Adakah kiranya yang masih sudi rutin melipir ke blog ini? Excuse me, did you say “rutin”, Par? Ahahaha. Ya ya. Kerajinan posting berkurang bukan berarti tingkat ke-PD-an juga berkurang, kan? 😀

Oke, baiklah. Jadi ceritanya malam ini saya akhirnya menyempatkan diri untuk mengabadikan secuil pikir yang sedang terlintas di kepala. Di tengah riuh-rendahnya pikir di beberapa bulan belakangan. Kalian yang sedang / pernah merasakan menjadi MTA a.k.a Mahasiswa Tingkat Akhir pasti mengerti arah pembicaraan kita sekarang. “kita” siapa kang? Emang siapa-sama siapa yang lagi bicara nih?

Alrite! Sebagai MTA yang alhamdulillah belum tak mau acuh dengan diri sendiri, saya sudah semestinya memikirkan lebih banyak hal dari sebelumnya. Topik pikir yang pertama dan paling utama tentu saja penyusunan skr*psi (maaf ya harus disensor, karena itu kata-kata paling tabu se- Lanjutkan membaca


Slide Bernilai 1,5 Juta

Halo semuanya! 🙂

Setelah (Lagi-lagi) lama menghilang, sore ini saya tetiba ingin berbagi tentang suatu hal ikhwal yang saya rasa lumayan tak asing, apalagi di kalangan mahasiswa. Kita, para mahasiswa, tentu pernah sekali-dua mendapatkan tugas presentasi, bukan? Terlebih bagi mereka yang hobinya ikut kompetisi, mengirim paper, essay, PKM (program kreatifitas mahasiswa),  dan segala kompetisi lainnya, pasti presentasi adalah semacam makanan pokok yang secara rutin mereka konsumsi.

Okeh, jadi ceritanya bahasan kita pada post kali ini adalah salah satu (dari dua) bagian yang tak terpisahkan dari presentasi. Siapakah dia? Slide (bahan) presentasi. Lalu apa yang satunya lagi, Par? Emmph, kasih tauw gaq eaa? Satu lainnya adalah teknik menyampaikan presentasi.

Entahlah, kebanyakan orang, menurut saya, hanya berfokus pada cara mereka menyampaikan dan menjawab pertanyaan juri (jika dalam perlombaan) saat mereka presentasi. Mereka kemudian hanya Lanjutkan membaca


Self Remindering

Semester limas sudah di depan mata. Parara harus ngapain? bismillah…

  1. Ada Kalkulus Cup di september. Semoga bisa berdiri di podium.
  2. Ada Kompetisi Statistika Dasar, juga di september. It will be better if i start the preparation.
  3. Ada IPB Mathematics Challenge di oktober (atau november?). Hajar sudah dari sekarang.
  4. Proposal Kegiatan Mahasiswa. Mari kita buat kultur mengamen yang lebih baik.
  5. Melanjutkan job sebagai asisten. Tetap kalkulus atau metode statistik? Terserah Allah.
  6. Nyicil tugas akhir. Minimal harus tau topik lho.
  7. i just want to go abroad, indeed. 😦