Melawan Arus Politik Pasca Kebenaran

Lebih kurang dua minggu lagi, rakyat Indonesia akan melaksanakan hajatan besar lima tahunan: memilih pemimpin negara untuk periode lima tahun ke depan. Berkenaan dengan ini, saya ingin sedikit mencurahkan uneg-uneg yang mengganggu pikiran. Rasa tak nyaman yang menumpuk sejak wacana mengenai pilpres ini mulai diberitakan oleh media, dan direspon oleh publik dari sekitar setahun terakhir.

Saya jengah. Pengar dengan hiruk-pikuk respon publik atas kontestasi politik ini. Bukan karena saya tak suka dengan masyarakat kita yang ternyata sudah melek politik. Melainkan, karena dari yang saya amati dan rasakan, saya berksimpulan bahwa respon publik yang berkembang cenderung sudah tidak pada kategori yang baik/sehat. Masyarakat kita seolah terpisah dalam polarisasi absolut dua kubu pasangan calon. 

Betapa tidak. Saya merasa, kok orang-orang dapat digolongkan dengan begitu absolutnya ke dalam dua kubu yang berbeda: kubu pendukung paslon 01, dan kubu pendukung paslon 02. Sampai sini sih harusnya tak masalah ya. Namun, yang terjadi kemudian adalah orang-orang anggota masing-masing kubu dengan seragam (dan piciknya)  berlaku dua hal berikut, tak kurang, tak lebih, presisi betul:

  1. Menjunjung, memuji dan menganggap benar SEGALA sesuatu yang ada paslon jagoannya.
  2. Nyinyir, mengkritik, dan menganggap salah SEGALA sesuatu yang ada pada paslon lawan.

Dua tabiat ini lah yang membuat saya jengah. Amat dan teramat. Saya heran kemana perginyanya rasionalitas dan akal sehat kita? Sampai-sampai, hal yang remeh-temeh tak substantif macam tak sempurnanya pengucapan suatu istilah keagamaan (saya tak memihak, ini terjadi di kedua paslon) digoreng sedemikian rupa dan, peliknya, diamini oleh para pendukung masing-masing calon. Wah, si Anu bilang gitu aja gak becus, jangan dipilih! Tak layak jadi presiden!

#Elus-elus dada dan akal sehat… 

Eh ternyata, fenomena ini bukan sesuatu yang baru pertama kali terjadi di dunia. Usut punya usut, fenomena ini ternyata bernama ‘politik pasca-kebenaran’. Keadaan dimana pilihan politik publik lebih dipengaruhi oleh persepsi subjektif dan keyakinan personal, daripada fakta objektif  dan rasionalitas. Pemilu presiden Amerika Serikat boleh jadi adalah contoh utama dari fenomena ini. Donald Trump memenangkan pemilu walaupun sebelumnya diragukan oleh kebanyakan analis politik (rasional). Salah satu sebabnya diyakini adalah karena isu/semangat (ultra) nasionalis/konservatif yang digalakkan dengan masif oleh Trump dan tim suksesnya.

Kembali ke konteks perpolitikan tanah air, para pendukung kedua kubu seolah berkeyakinan bahwa apapun yang ada pada paslon jagoannya adalah kebenaran, dan pembenaran bagi mereka untuk memilih paslon tersebut. Meskipun sebenarnya (rancangan) program/kebijakan yang diusulkan sangat pantas untuk dikritisi. Sebaliknya, segala sesuatu yang ada pada calon lawan adalah kesalahan. Meskipun sesungguhnya mungkin sebagian dari opini lawan ada benarnya.

Jika kita mendapati artikel yang sekiranya berisi pemberitaan buruk, aib, maupun kekurangan tentang paslon lawan, kita langsung bersemangat mengklik tombol “share” seraya menulis caption provokatif bernada “Nih kelakuan junjungannya kaum Anu, saya bilang juga apa. Masa kayak gini mau jadi presiden?“. Sebaliknya, jika di hadapan mata ada pemberitaan positif tentang orang yang sama, kita memilih tak percaya, menutup mata dan buru-buru menggulirkan kursor ke bawah. Media pemberitaan hanya digunakan untuk membenarkan apa yang telah kita percayai saja. 

Sungguh benar lah sudah: kita terseret arus deras politik pasca-kebenaran.

Post truth image

Post-truth era

Untuk itu, merespon hal yang tidak baik ini, saya ingin menyampaikan dua hal sebagai berikut.

1. Pemilihan presiden sejatinya ‘hanyalah’ pemilihan sosok pemimpin negara untuk lima tahun ke depan.

Saya menulis kata ‘hanya’ di atas bukan untuk menafikan legitimasi seorang presiden, yang notabene adalah pemimpin lembaga eksekutif tertinggi negara. Tujuan saya menulisnya adalah karena banyak orang yang sudah terlanjur menganggap bahwa pemilihan presiden ini bak perang antara kebaikan dan kejahatan angkara-murka. Sangat kolosal, sangat hitam dan putih, dan karenanya harus pantas diperjuangkan mati-matian. Sayangnya itu berlebihan dan jauh dari kebenaran.

Pemilihan presiden adalah pemilihan presiden. Kita disodorkan dua kandidat pada pemilu kali ini. Dua kandidat tersebut tak lain tak bukan juga merupakan manusia biasa seperti kita. Manusia yang lengkap memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Saya pikir adalah objektif kalau mengatakan kedua paslon adalah dua orang yang berkecenderungan baik.

Oleh karenanya, sudah semestinya kita menumpukan pilihan kita pada hal-hal substantif, yakni pada program kerja yang ditawarkan untuk lima tahun kedepan. Apa saja program kerjanya? Apakah merupakan solusi dari masalah yang ada saat ini? Apakah sudah cukup teknis terinci dengan baik langkah pelaksanaannya atau masih sebatas tataran normatif? Bagaimana implikasi jangka panjangnya untuk Indonesia? Dan pertanyaan penggalian kritis substantif lainnya.

Seperti yang sudah sering kita dengar, khittah pemilu adalah soal adu gagasan, ide, dan solusi. Maka, mari kita kembalikan pemilu ke khittahnya!

2. Dampak praktis pilpres tak sehebat yang dinarasikan para elite politik. Percayalah!

Bagian dari keheranan saya mengamati para pendukung –bahkan di kalangan akar rumput– yang mengekspresikan dukungannya adalah, mereka sepertinya percaya betul bahwa dampak praktis (dampak yang langsung menyentuh/bersinggungan dalam kehidupan sehari-hari) dari hasil pilpres kelak. Bagi kita pekerja kantoran di Jakarta, ya akan tetap pergi pagi pulang petang/malam. Bagi para pengemudi ojek online, ya masih akan tetap ‘berkantor’ di jalanan. Bagi para mahasiswa, ya harus tetap belajar dengan baik dan tekun untuk meraih gelarnya.

Tak kan ada perubahan signifikan/radikal bagaikan membalikkan telapak tangan, percayalah. Kenapa? karena kedua visi/misi kedua paslon secara garis besar jika ditarik benang-merahnya adalah tentang peningkatan kesejahteraan rakyat (bukan simsalabim jadi sejahtera semua), dan hal-hal normatif (yang baik-baik tentunya) lainnya.

Lain halnya misalkan salah satu calon memiliki program ‘memberikan deposito yang nominal bunganya dapat digunakan sebagai biaya hidup yang cukup bagi seluruh rakyat Indonesia’. Nah kalau ada paslon yang berani menjamin seperti ini kalau dia terpilih, boleh lah kita kalangan akar rumput ini lebih ngotot mendukungnya.

Sadari bahwa yang akan mendapatkan keuntungan praktis memikat nan signifikan hanyalah kalangan elite politik yang menjadi pendukung paslon yang bersangkutan saja. Adalah lumrah petinggi partai koalisi menempati pos menteri dari kabinet paslon yang terpilih menjadi presiden-wakil presiden nantinya. Jadi sekali lagi, kehidupan kita di kalangan akar rumput ini tak akan berubah banyak! (Perubahan pasti ada, mengikuti kebijakan yang akan diambil, namun tak akan muluk-muluk seperti katakan menjadi menteri).

pemilu cerdas

Pemilu ideal tujuan kita

***

Begitulah kiranya uneg-uneg yang ingin saya sampaikan. Semoga dengan mengetahui, lebih tepatnya mungkin menyadari dua hal di atas, kita dapat memanggil kembali akal sehat lengkap dengan segala rasionalitasnya. Dan selanjutnya menggunakan keduanya untuk menentukan pilihan kita pada pesta demokrasi dua minggu lagi!

Selamat berpesta, rakyat Indonesia!

About pararawendy

Once A Dreamer, Always Be The One Lihat semua pos milik pararawendy

Tinggalkan komentar